Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa.
Tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat kita, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada, di samping tuntutan perbaikan taraf hidup guru. Mereka berharap, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan seorang guru yang profesional dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah.
Hal ini jelas menunjukkan masih adanya perhatian masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain:
Hal itu merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja kemudian mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang “murah”.Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan serta serta berbagai profesi lainnya kini dianggap sebagai profesi “murah” dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.
Upaya dengan cara berkoar-koar tidak akan mampu mengubah image yang telah melekat, namun justru malah semakin membuat posisi guru semakin terpojok. Yang harus dilakukan, guru justru harus memperlihatkan sikap profesional sebagai seorang pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Hanya melalui karya nyata dan sikap keseharian yang diperlihatkan oleh seorang guru lah yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta diakuinya keprofesionalannya oleh masyarakat. Pemenuhan kebutuhanPemenuhan kebutuhan hidup merupakan suatu yang harus diupayakan oleh setiap individu. Bagi seorang guru, kebutuhan hidupnya bukan hanya sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk menambah wawasan dan pengetahuan agar dia mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adat istiadat yang terus berkembang di tengah masyarakat.
Bagi kebanyakan guru, pemenuhan semua kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dalam upaya meningkatkan profesionalisme masih menjadi suatu impian karena pendapatan mereka sebagai seorang guru belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Jangankan berpikir berlangganan koran, majalah atau internet dan menyediakan anggaran khusus untuk membeli buku secara rutin setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup rutin keluarganya yang paling mendasar pun masih kesulitan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kekurangan tersebut mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencukupi dengan melakukan kerja sampingan secara serabutan.Mengajar di banyak sekolah serta kerja sampingan yang bersifat fisik telah menjadi pilihan kebanyakan guru untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Hal ini jelas berakibat pada kurangnya waktu untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta perhatian kepada anak didik.
Akibat dari kesibukan mereka untuk mencari tambahan penghasilan tersebut, seorang guru berubah fungsi dari seorang pendidik menjadi pengajar. Mereka hanya mengajarkan ilmu kepada anak didiknya, dengan kemampuan yang pas-pasan karena apa yang disampaikannya hanya mengacu pada buku teks. Dengan demikian, tidak heran jika wawasan dan pengetahuan seorang guru berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat tertinggal dibanding anak didik. Akibatnya, lembanga sekolah dan khususnya guru hanya dianggap sebagai pemberi angka nilai rapor dan tidak lebih dari itu. Murid lebih percaya kepada lembaga bimbingan belajar dan informasi yang diperoleh dari berbagai media informasi. Penilaian atas rendahnya tingkat profesionalisme guru juga disebabkan oleh rendahnya minat guru terhadap dunia tulis-menulis. Mereka cenderung menyampaikan ide dan gagasan hanya melalui pembicaraan, bukan melalui tulisan ilmiah.
Padahal, penyampaian ide dan gagasan melalui tulisan akan terus memacu guru untuk membaca dan mencari sesuatu yang baru. Bahkan jika beruntung, tulisan kita dimuat di salah satu terbitan jelas akan mendatangkan pundi-pundi yang dapat menutupi kekurangan biaya hidup. Rendahnya minat guru untuk menekuni dunia tulis-menulis banyak disebabkan oleh keengganan mereka untuk mencoba menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Dengan alasan kesulitan untuk memulai, takut tidak dimuat, takut ditertawakan dan hanya menghabiskan waktu. Padahal, pengetahuan dan wawasan yang dimiliki guru dari hasil studi panjang di pergurtuan tinggi, berbagai pelatihan dan pendidikan profesi serta hasil membaca dari berbagai media cetak dan buku-buku ilmiah dapat dijadikan dasar untuk memulai menulis dan meningkatkan profesionalisme dalam menjalankan profesi pendidikan.
Pergeseran budaya dalam pendidikan, dari budaya mendengar dan mendongeng menjadi budaya membaca, menulis, dan diskusi perlu dilakukan. Melalui budaya membaca, menulis dan diskusi akan tumbuh kehidupan ilmiah dalam masyarakat kita. Jika budaya ini telah tumbuh pada diri setiap guru di Indonesia, insya Allah para guru di Indonesia dengan sendirinya akan diakui oleh masyarakat sebagai guru yang profesional karena mampu memperlihatkan kemampuannya kepada masyarakat secara nyata bukan hanya retorika.